Ni Wayan Sukar, Generasi Ketiga Petani Garam di Gumbrih
FOTO: Ni Wayan Sukar saat melakukan proses pembuatan garam air laut di pesisir pantai Gumbrih, Pekutatan.
GOOGLE NEWS
BERITAJEMBRANA.COM, PEKUTATAN.
Ni Wayan Sukar, adalah salah satu dari sedikit petani garam laut Bali yang tersisa. Ia memulai harinya sejak pagi, menyusuri pantai berpasir hitam yang terhampar di Desa Gumbrih, Jembrana.
Garam yang dibuat nenek berusia 60 tahun ini sudah ditekuninya secara turun temurun, dirinya merupakan generasi ketiga yang masih dalam satu keluarga pembuat garam tradisional yang tersisa.
Seperti yang dijelaskan Ni Wayan Sukar dalam wawancaranya dengan awak media, proses pembuatan garam laut itu dimulai dari tahap mengumpulkan bunga pasir berwujud kristal. Setelah kering, lalu mengumpulkan lapisan atas pasir dan dikumpulkan dalam wadah kayu.
Selanjutnya dilakukan proses 'nyosor' atau menuangkan air laut ke dalam kotak besar, rembesan air pasir kemudian mengalir ke bawah menuju sebuah ember plastik. Jika air garam sudah cukup, Ni Wayan akan menuangkannya ke dalam lempengan besi yang sudah dipersiapkannya. Proses ini merupakan tahap akhir pada pembuatan garam laut dari bahan kayu bakar.
“Saya secara turun-temurun membuat garam ini, sejak penglingsir saya masih ada. Dulu ada tujuh belas orang yang membuat garam seperti ini, sekarang hanya saya sendiri,” katanya. Ni Wayan menambahkan garam yang dia buat disalurkan kepada warung seharga Rp10.000 per kilogram, bahkan terjual hingga ke luar desa. Selain itu ada juga pembeli yang sengaja datang ke rumahnya.
"Produksi garam sebagian besar terjadi selama bulan-bulan kemarau, tetapi terkadang dapat dilihat selama musim hujan," pungkasnya. Ia berharap kedepannya proses pembuatan yang dilakukannya secara tradisional nantinya mampu dikemas lebih baik lagi sehingga memiliki nilai jual yang lebih baik.
Editor: Robby Patria
Reporter: -