search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Histori Pasar Adat Desa Pergung, Potensi Ekonomi dan Hiburan Rakyat
Jumat, 27 September 2024, 22:36 WITA Follow
image

Histori Pasar Adat Desa Pergung, Potensi Ekonomi dan Hiburan Rakyat

IKUTI BERITAJEMBRANA.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAJEMBRANA.COM, MENDOYO.

Banyak histori sejarah asal usul Pasar Adat Desa Pergung, Kecamatan Mendoyo, Jembrana. Dari sebutan pasar kaget, hingga senggol. Karena kalau tidak nyenggol Galungan dan Kuningan tentu kurang asik. Bahkan anak muda sering menyebutnya MTC (Mall Tegalcangkring) dan banyak istilah-istilah lainnya. Hasil pendapatan bersih baik desa dan masyarakat banyak keuntungan dari hal itu. Desa adat untung di sewa lahan untuk biaya kesiapan ngaben massal sedangkan masyarakat diuntungkan lahan parkir. 

Perbekel Desa Pergung I Ketut Wimantra, SE katakan, pendapatan hasil ekonomi masyarakat tentu menambah hasil nilai ekonomi. Manfaat walau bukan dari hasil para pedagang disini. Hasil nilai ekonomi parkir yang justru dinikmati para warga sekitar. Karena acara ini hanya tiap 6 bulan sekali, disaat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Efektif buka pasar malam ini selama 6 hari, jumlah pedagang yang kurang lebih ada 300 stand yang ada. Luas lapangan Pergung ini 20 ha, Jumat (27/09/2024). 

"Sejarahnya pasar adat Desa Pergung sejak tahun 1974. Sudah 50 tahun sampai saat ini. Berawal saat saya kecil pasar ini jenis hiburan di perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan," ungkapnya. 

Menurutnya, para pedagang saat itu adalah masyarakat sekitar dan desa lain. Walau hanya sebatas kudapan ringan dan juga minuman. Bahkan hiburan layar tancap, atau paling hebat nonton TV yang hanya ada di balai desa. Hingga kini berfungsi lahan lapangan dipergunakan yang di sewa baik dari Singaraja, Tabanan, Jembrana, dan juga dari Jawa. 

"Masyarakat merasa sangat puas adanya yang kini banyak istilah pasar adat. Dari senggol bahkan mall tapi kami lebih histori menyebutnya pasar malam. Dari pedagang pakaian, sendal, mainan anak-anak, bahkan kini lebih meriah dan semarak dengan warna-warni lampu hias," katanya. 

Hal lain juga disampaikan salah satu warga I Komang Darmawan (42) tahun, asal Banjar Petapan Kelod, Desa Pergung, Kecamatan Mendoyo, sangat diuntungkan adanya pasar malam desa adat. Halaman rumah warga di pakai lahan parkir. Sehingga pengunjung pun merasa aman, tanpa menganggu badan jalan yang merupakan jalur jalan penghubung Denpasar - Gilimanuk. Yang cukup terkenal padat dan merayap saat dibukanya pasar malam ini. 

"Keuntungan secara ekonomi maksimal 1 juta per malam itu tergantung para pengunjung. Untuk parkir Rp.3.000 itu bebas di lahan sekitar masyarakat. Tapi itu tergantung pula luas halaman rumah warga ada yang luas bahkan kecil. Makanya beda-beda hasil pendapatan uang parkir. Bahkan hingga parkir ke masjid di barat lapangan, kantor camat dan sekitar warga Kelurahan Tegalcangkring di wilayah timur," ujarnya. 

Seorang pengunjung I Gede Mulyadi dari Dangintukadaya pun sangat suka ke pasar malam atau senggol. Selain hinguran hari Raya Galungan dan Kuningan juga mencari pakain yang sering di cari OB (Obral Baju) yang murah dan bisa menawar. Intinya pandai menawar. Kalau makanan sih, paling makanan ringan, minuman es buah atau gorengan untuk oleh-oleh keluarga di rumah. 

"Harapan kedepannya hiburan rakyat atau lahan yang seperti ini tetap ada, selain tentu meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Apalagi hasilnya nilai ekonomi juga buat kebutuhan masyarakat dan kepentingan agama pula. istilah di Bali adalah punia. Ini tentu seiring sejalan dengan filosofi di Bali," pungkasnya. 

Editor: Edy

Reporter: Tim Liputan



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritajembrana.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Jembrana.
Ikuti kami